Perkembangan Bioteknologi Dalam Bidang
Pertanian
Dalam
bidang pertanian bioteknologi menggunakan sistem transgenik yang mulai di
kembangkan, namun menuai penolakan dari berbagai pihak yang menyebabkan
teknologi ini tidak pesat perkembanganya. Tanaman pertanian yang telah berhasil
meningkatkan produksi dan kualitas melalui transgenik antara lain kapas dan
jagung. Penggunaan marka molekuler (penanda molekuler) untuk menyeleksi sifat
yang di inginkan dari keturunan hasil persilangan dengan sifat-sifat yang
tanaman berdasarkan DNA yang dimiliki tanaman akan mempercepat prossnya.
Salah
satu kelebihannya adalah mempersingkat pengujian tanaman . jika dengan cara
konvensiaonal di perlukan waktu sedikitnya 5tahun, sedangkan dengan cara
ini hanya di perlukan waktu paling lama 3 tahun.dengan marka molekuler, pada generasi
ketiga tanaman hasil persilangan sudah stabil. Pada tanaman jagung marka
molekuler digunakan untuk mengetahui jarak genetik (hubungan kekerabatan)
jagung. Dengan begitu, para pemulia menjadi lebih mudah dalam melakukan
persilangan. Selanjutnya yang tak kalah pentingnya adalah perlindungan terhadap
sumber genetik pertanian Indonesia dari ancaman kepunahan. Rekayasa genetika
dalam bidang tanaman dilakukan dengan mentransfer gen asing ke dalam tanaman.
Hasil rekayasa genetika pada tanaman seperti ini disebut tanaman transgenik.
Sudah diperoleh beberapa tanaman transgenik yang toleran terhadap salinitas,
kekeringan dan hama penyakit
Tanaman Transgenik
Toleran salin
Dengan teknologi kultur
jaringan telah dapat dikembangkan tanaman transgenik toleran salin. Rekayasa
genetika mentransfer gen dari padi liar yang toleran terhadap salin ke padi
yang biasa digunakan sebagai bahan pangan melalui fusi protoplasma. Dapat juga
ditransfer dari sejenis jamur yang tahan salin kepada tanaman yang akan
dijadikan tanaman transgenik. Beberapa tomat, melon, dan barley transgenik yang
toleran dengan salin.
Tanaman
Transgenik Resisten Hama
Bacillus thuringiensis
menghasilkan protein toksin sewaktu terjadi sporulasi atau saat bakteri
membentuk spora. Dalam bentuk spora berat toksin 20% dari berat badan spora.
Apabila larva insek memakan spora maka di dalam alat pencernaan larva insek,
spora bakteri dipecah dan keluarlah toksin. Toksin masuk ke dalam membran sel
alat pencernaan larva, mengakibatkan alat pencernaan mengalami paralisis, pakan
tidak dapat diserap sehingga larva mati. Dengan membiakkan Bacillus
thuringiensis kemudian diektrak dan dimurnikan maka akan diperoleh insektisida
biologis (biopestisida) dalam bentuk kristal. Insektisida biologis serupa saja
aplikasinya maupun untung ruginya dengan insektisida kimia lainnya. Oleh karena
itu, pada tahun 1985 dimulai rekayasa gen dari Bacillus thuringiensis dengan
kode gen Bt toksin.
Tanaman
tembakau untuk pertama kali merupakan tanaman transgenic pertama yang
menggunakan gen Bt toksin, disusul famili tembakau, yaitu tomat dan kentang.
Dengan sinar ultraviolet gen penghasil insektisida pada tanaman dapat
diinaktifkan. Jagung juga telah direkayasa dengan menggunakan gen Bt toksin,
tetapi diintegrasikan dengan plasmid bakteri Salmonella parathypi, yang
menghasilkan gen yang menonaktifkan ampicillin.
Pada
jagung juga direkayasa adanya resistensi herhisida dan resistensi insektisida
sehingga tanaman transgenik jagung memiliki berbagai jenis resistensi hama
tanaman. Bt toksin gen juga direkayasa ke tanaman kapas bahkan multiple-gene
dapat direkayasa genetika pada tanaman transgenik. Toksin yang diproduksi
dengan tanaman transgenik menjadi nonaktif apabila terkena sinar matahari,
khususnya sinar ultraviolet
Tanaman
Transgenik Resisten Penyakit
Dalam
percobaan kloning “Bintje” yang mengandung gen thionin dari daun barli
(DB4) yang memakai promoter 35S cauliflower mosaic virus (CaMV), dengan
mengikutsertakan Bintje tipe liar yang sangat peka terhadap serangan
Phytophthora infestans sebagai kontrol, menunjukkan bahwa klon “Bintje” dapat
mengekspresikan gen DB4. Jumlah sporangium setiap nekrosa yang disebabkan oleh
P. infestans mengalami penurunan lebih dari 55% jika dibandingkan dengan tipe
liar. Pendekatan ini sangat bermanfaat untuk menekan perkembangbiakan P.
infestans sehingga kerugian secara ekonomi dapat direduksi.
Perkembangan yang menggembirakan juga terjadi pada usaha untuk memproduksi
tanaman transgenik yang bebas dari serangan virus. Dengan memasukkan gen
penyandi protein selubung {coat protein) Johnsongrass mosaic potyvirus (JGMV)
ke dalam suatu tanaman diharapkan tanaman tersebut menjadi resisten apabila
diserang oleh virus yang bersangkutan.